Belum lama ini banyak orang dihebohkan dengan pernikahan Muzzamil Hasballah dengan Sonia, pasangan hafidz dan hafidzah ini membuat banyak orang iri dan baper. Karena hal tersebut pula netizen ramai-ramai meresmikannya menjadi hari patah hati dunia akhirat dengan #haripatahhatiduniaakhirat di semua lini sosial media. Kedua mempelai yang sholih dan sholihah tersebut membuat banyak orang berdecak kagum kemudian ramai menjulukinya dengan pasangan dunia akhirat. Namun, apakah kehidupan rumah tangga sseorang yang shalih dan shalihah akan berjalan mulus begitu saja? Meskipun dalam memilih pasangan hal utama yang harus diperhatikan adalah agamanya, akan tetapi hal tersebut tidak serta merta menjamin rumah tangga yang akan dijalani akan “adem ayem” saja. Baiknya kita juga melihat kembali kisah sahabat di era Rasulullah Saw. Adalah Zubair bin Awaam dan Asma binti Abu Bakar yang tidak diragukan lagi kesholihannya di mata Allah Swt. Namun, bahtera rumah tangga keduanya terpaksa kandas.

“Peristiwa tersebut mengingatkan kepada kita bahwa sholih saja tidaklah cukup untuk mengarungi kehidupan pernikahan. Biasanya sebelum menikah kita menganggap pernikahan bak negeri dongeng, yang hampir selalu happy ending. Tapi kita lupa, dalam setiap kisah dongeng tersebut sebelum memperoleh happy ending harus melewati perjuangan dan pengorbanan. Kisah dongeng yang sering kit abaca tersebut sebenarnya mengandung pesan tersirat, yakni sebelum memperoleh happy ending kita harus berjuang terlebih dahulu.” Tutur Indra Noveldy, Konsultan keluarga yang pagi itu mengisi kajian Humaira di Masjid Kalitan (21/07).

Faktanya, memang benar adanya bahwa 100% pernikahan itu bermasalah. Hanya saja level masalah yang dihadapi tiap-tiap pasangan berbeda-beda. Hal tersebut sangatlah wajar jika mengingat bahwa pernikahan dilakukan oleh dua insan berbeda, dari keluarga berbeda yang menganut “nilai-nilai” berbeda, dari nilai-nilai yang berbeda tersebut tentu saja berpotensi menimbulkan konflik antar pasangan.

Sebuah data dari BPS (Badan Pusat Statistik) dan Departemen Agama menyatakan bahwa pada tahun 2009, 1 dari 10 pernikahan berkahir dengan perceraian. Kemudian, data tersebut mengalami peningkatan signifikan, yakni: 1 dari 5 pasangan pernikahan memutuskan untuk bercerai. Sungguh tragis bukan?

Masalah-masalah sepele yang terjadi dalam rumah tangga, tidak bisa diabaikan begitu saja. Ibarat dua sisi mata uang bila dilihat dari sudut pandang yang berbeda maka kenampakan yang dilihat juga akan selalu berbeda. Satu sisi melihat nominal angka, dan sisi yang lain akan melihat lambang garuda. Perdebatan sengit semacam itu tak kunjung usai, karena sejatinya kebenaran yang mutlak itu tidak ada, maka masing-masing harus berusaha mengerti dan melihat dari sisi yang sama. Selama keputusan yang diambil tidak melanggar aqidah, tidak membahayakan jiwa, dan tidak melanggar akal sehat maka masih bisa ditoleransi dan tidak perlu dibesar-besarkan.

Menikah adalah ibadah yang paling lama dijalankan. Pernikahan itu ibarat menyusuri jalan panjang yang tak terbentang. Kenapa jalan panjang tak terbentang? Karena setelah menikah, kita tidak akan begitu saja mendapati jalan setapak yang akan membawa kita ke akhir yang indah, atau happy ending. Sebaliknya setelah menikah kita harus bersiap meniti langkah untuk membuka jalan alias babat alas menuju happy ending.

Tidak akan ada yang berani menjamin apa yang akan dihadapi setelah melewati gerbang pernikahan. Mulus dan tidaknya jalan untuk mengarungi sebuah pernikahan tidak bisa menjadi tanggung jawab salah satu pihak saja. Kedua belah pihak, baik itu laki-laki maupun perempuan memiliki tanggung jawab yang sama untuk menjaga pernikahan agar tetap sakinnah, mawaddah, dan rohmah. (Setyorini)