Oleh: ( Ahmad Syafiul Anam, Lc )
Diantara tanda kebesaran Allah adalah dengan terciptanya segala sesuatu di dunia secara berpasangan, masing-masing membentuk sebuah harmonisasi dan saling melengkapi satu dengan lainnya. Tak terkecuali manusia sebagai makhluk yang mulia dititahkan Allah untuk menjadi khalifah yang memakmurkan bumi. Amanah dalam memakmurkan bumi ini tidak terhenti hanya dalam satu generasi melainkan terus berkesinambungan dan membutuhkan kaderisasi yang mapan.
سُبْحَانَ الَّذِي خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْبِتُ الْأَرْضُ وَمِنْ أَنْفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ
Artinya : Maha suci Allah Dzat yang telah menciptakan berpasangan kepada segala sesuatu dari yang ditumbuhkan tanah, dari diri mereka maupun dari apa yang mereka tidak mengetahuinya ( QS Yasin : 36 ).
Selain diberikan akal manusia juga diberikan hati yang memiliki rasa cinta terhadap pasangannya. Rasa cinta tersebut dalam Islam bukanlah sesuatu yang dipermainkan tetapi seharusnya dibingkai dalam tuntunan syariat yang rahmatan lil’alamin. Pernikahan dalam Islam adalah sesuatu yang sakral. Ia menjadi sebuah pintu untuk meraih kebahagiaan jika dilaksanakan dalam kerangka Sakinah Mawaddah Wa Rahmah.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya : “Dan diantara tanda kekuasaan-Nya, Allah menciptakan untuk kalian dari diri kalian pasangan-pasangan agar kalian merasan tenang bersamanya, dan Ia jadikan diantara kalian rasa cinta dan kasih sayang. Sungguh dalam hal itu terdapat tanda-tanda kebesaran bagi orang yang berfikir “ ( QS Ar Ruum : 21 ).
Hanya saja dalam praktek di lapangan, teori kadang jauh panggang dari api dari kenyataan. Banyak kita temukan pasangan yang berangan-angan meraih kebahagiaan dalam keluarga, tetapi di tengah jalan menemukan rintangan yang tidak ringan untuk dihadapi. Diantara fenomena tersebut adalah fenomena yang sering kita melihat dalam sebuah rumah yang di dalamnya terdapat dua keluarga yaitu keluarga orang tua ( yang selanjutnya penulis sebut keluarga MERTUA ) dan keluarga anaknya ( yang selanjutnya penulis sebut keluarga MENANTU ). Untuk memudahkan dan menyamakan persepsi maka penulis yang penulis maksudkan dari keluarga MERTUA & MENANTU adalah Ibu Mertua & Menantu perempuan karena kebanyakan masalah dan problem sering terjadi dalam kasus keluarga seperti ini.
Tidak ada seorangpun yang ketika menikah memiliki tujuan selain untuk terciptanya sebuah kebahagian dalam keluarga. Barangkali akan timbul pertanyaan: Bukankah agama selalu mengajarkan kepada kita untuk selalu menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda? Bukankah agama ini mengajarkan untuk selalu berkata yang baik dan berakhlak terpuji kepada yang lain? Tetapi kenapa sebuah keluarga yang tentunya saling mengenal satu dengan yang lain harus berselisih dan berkonflik.
Seiring dengan perjalanan waktu sering terjadi konflik antara mertua dengan menantu perempuan. Untuk kasus keluarga Mertua Menantu ini biasanya terjadi misal seperti berikut ini : Kalau dulu sebelum menikah gaji yang diperoleh 50 % diberikan ke ibunya tetapi setelah menikah hampir seluruh gaji anak diserahkan kepada istrinya. Sang ibu juga merasa sejak anaknya menikah, sudah jarang lagi memperhatikannya seperti dulu. Permasalahan atau konflik juga dapat terjadi karena mertua yang ingin banyak mengatur menantunya atau sebaliknya sang menantu yang ingin mengatur mertuanya. Masalah akan semakin besar jika istri melapor pada suami dan suaminya tersebut lebih membela isterinya. Bagaimana solusinya agar meraih kebahagiaan dalam keluarga?
Islam sangat getol mengajarkan kepada umatnya untuk senantiasa menjaga sebuah keluarga dan tidak merusaknya. Seorang yang membina rumah tangga laksana seorang seorang yang membangun sebuah rumah agar jangan sampai roboh terhempas angin.
Sebenarnya apakah seseorang tinggal mandiri bersama pasangannya ataupun tinggal bersama orang tuanya atau mertuanya bukanlah sebuah hal yang masalah jika semua interaksi dalam kelarga dilandasi karena Alllah SWT. Masalah sebenarnya terletak dari kekurang sabaran seseorang dalam menghadapi perilaku yang tidak disukainya dari orang lain dan juga berangkat dari kekurang fahaman seseorang akan nilai tawakkal dan syukur dan juga ketidakmampuan seseorang untuk menjaga dirinya dari nafsu dan amarah.
Dalam kitab “ Thariquka Ilas Sa’adatil Usariyyah “ karya Syekh Amir Bin Isa salah seorang pengajar di Kulliyyatul Mu’allimin Damam menyebutkan tentang beberapa hal yang bisa menciptakan suasana yang kondusif yaitu :
1) Selalu berusaha untuk memberi teladan nasehat kepada keluarganya
2) Menyiapkan alternatif bila terjadi pelanggaran. Dalam hal ini sebuah hukuman jangan sampai menyakiti tetapi harus yang mendidik.
3) Menciptakan suasana keluarga yang penuh kegembiraan dan persaudaraan. Sesekali tidak masalah kita membawa mereka ke tempat pemancingan, wisata religi , silaturrahim ke rumah saudata yang lain. Hal ini akan semakin menimbulkan kekuatan ukhuwwah.
4) Membuka pintu diskusi dan dialog dengan keluarga. Banyak permasalahan terjadi karena tidak adanya ruang untuk menyampaikan unek-unek dan masalah yang selama ini dipendam.
Keluarga yang diridlai Allah adalah keluarga yang senantiasa berselimutkan sakinah, mawaddah wa rahmah. Ketika sebuah keluarga telah menjadi keluarga yang diridlai Allah maka tidak ada orang yang lain yang akan terdzalimi. Semoga Allah SWT menyinari keluarga-keluarga kita dengan cahaya rahmah dan barakah, semoga kita diselamatkan dari segala tindakan perilaku yang melanggar agama. Semoga di surga kelak kita bersama orang-orang yang kita cintai.