APA yang terlintas di benak Anda ketika terjadi pertengkaran atau berselisih faham dengan suami? Tidak cukupkah dengan kata-kata pedas atau menyakitkan hati suami, sekadar untuk meluapkan kemarahan? Atau bahkan sampai meninggalkan rumah, pulang lalu mengadu kepada orang tua?
Saya teringat dengan kisah orang tua saya, ketika awal menikah lalu pertengkaran pertama terjadi. ‘’Saat itu, ibu pulang ke rumah simbah kakung, sendirian. Ibu datang dengan raut muka sedih dan mata sembab, terlihat jelas bekas menangis,’’ urai ibu saya, saat masih sugeng dahulu.
Belum sempat ibu bercerita sepatah katapun, simbah kakung langsung merangkul bahu ibu sambil berkata,’’ Nduk, kok pulang sendirian? Suamimu mana? Ayo, tak anter pulang. Pantang bagi ayah menerimamu tanpa diantar suamimu.’’
Ibu yang mengaku sempat kecewa dengan sikap simbah kakung, hanya bisa menurut ketika diantarkan pulang. Waktu itu, tahun 1960-an, hanya dengan sepeda pancal, simbah kakung mengantar ibu dari Klaten ke Kartasura.
Ibu, semoga Alloh merahmatinya, sempat bingung ketika mengetahui simbah kakung tidak memberi kesempatan sedikitpun untuk bercerita. Bahkan sekadar berbagi perasaan sedihpun, simbah kakung tidak berempati sedikitpun.
‘’Tapi begitulah sikap yang benar, Nduk. Ketika besok kamu bersuami, jangan pernah sekalipun purik (pulang ke rumah orang tua-Red). Selesaikan dulu permasalahanmu di rumah. Biasa dalam rumah tangga berselisih faham. Selesaikan sendiri, jangan menyeret pihak luar, termasuk bapak ibu.’’
Saya yang waktu itu masih kecil, cuma bisa menyimpannya dalam memori saya. Bahwa ketika marah dengan suami, jangan sampai purik. Harus bisa menyelesaikan masalah sendiri.
Dan sekarang, memasuki tahun ke sepuluh pernikahan kami, sekalipun saya tidak pernah pulang ke rumah orang tua. Bukan karena orang tua saya memang sudah meniggal, tapi memang dalam hampir setiap pertengkaran, kami tidak pernah mengikutsertakan orang lain untuk ikut masuk memberikan pendapatnya.
Seorang perempuan, ketika menikah ya harus siap menjadi perempuan dewasa. Dewasa dalam menyelesaikan masalahnya sendiri, karena perselisihan itu wajar. Jangan sampai ketika kita seringkali mengadu ke orang tua dan menimbulkan kebencian di hatinya, ternyata tak lama kemudian suami istri sudah mesra lagi. Hadirnya pihak ketiga, seringkali justru menambah masalah semakin runyam. Ketika orang yang didatangi tidak cukup ilmu agamanya, bukannya mendapatkan solusi, justru kian mempertajam perselisihan. Apalagi orang tua yang terkadang tidak tega mendapati anak perempuannya menangis menahan sakit hati, langsung ikut marah dan menghukumi sang menantu tanpa melihat masalah dengan bijak. Na’udzubillahi min dzaalik.
Ketika seorang perempuan menikah, maka sudah menjadi keharusan dia menaati perintah suaminya. Bahkan orang tua sekalipun, tidak lagi memiliki hak atas anak perempuannya. ‘’Jika aku boleh menyuruh seseorang untuk sujud kepada orang lain, tentu aku akan menyuruh seorang istri untuk sujud kepada suaminya.’’
Juga menjadi larangan besar bagi istri sholihah, keluar rumah tanpa izin suaminya. Apalagi di saat marah, jangan sampai nanti justru mengumbar aib suami yang tentu saja aib diri sendiri ikut terbawa.
Hadits Rasulullah SAW; ‘’Siapa saja perempuan yang ke luar rumahnya tanpa izin suaminya dia akan dilaknat oleh Alloh sampai dia kembali kepada suaminya atau suaminya ridho terhadapnya.’’
Karena itu, jangan pernah sekalipun meninggalkan rumah saat terjadi pertengkaran dengan suami. Akan lebih baik kalau istri bersabar menahan diri dan tetap tinggal di rumah. Bisa dengan pindah ke kamar yang lain di dalam rumah, sampai syetan tidak lagi menguasai nafsu amarahnya.
‘’Jangan marah, bagimu syurga.’’ Hadits Riwayat Thabarani ini harus terus kita terapkan sehingga rumah tangga kita bisa menjadi sakinah mawaddah wa rahmah. Perbanyaklah istighfar dan perbanyaklah mengingat kebaikan suami ketika kita marah, insyaa Alloh kemarahan itu akan segera hilang. Alloohu a’lam bis showaab. (Anie R Rosyidah-)