Anak adalah anugerah terindah dari Allah Subhanallah wata’ala, sebab tidak semua orang tua beruntung bisa memiliki anak, sebagaimana firman Allah dalam surat Asy Syura ayat 49-50; Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.

Maka tidak berlebihan kiranya, jika penulis menyebut bahwa memiliki anak bukan hanya sebagai anugerah terindah melainkan juga rahmat yang  besar dari Allah. Sehingga tidak akan cukup jika hanya rasa cinta dan kasih sayang saja yang diberikan orang tua kepada anak sebagai ungkapan rasa syukurnya. Melainkan orang tua juga harus memberikan pendidikan, terutama pendidikan agama supaya anak senantiasa taat kepada Allah subhanallah wata’ala. Dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain pendidikan yang baik.” (HR. Al Hakim: 7679).

Berbicara soal pendidikan anak, ini termasuk urusan yang paling penting dan harus mendapat prioritas yang lebih. Abu al-Hamid al-Ghazali rahimahullah beliau berkata, anak merupakan amanat di tangan kedua orang tuanya dan qalbunya yang masih bersih merupakan permata yang sangat berharga dan murni yang belum dibentuk dan diukir. Dia menerima apa pun yang diukirkan padanya dan menyerap apa pun yang ditanamkan padanya. Jika dia dibiasakan dan dididik untuk melakukan kebaikan, niscaya dia akan tumbuh menjadi baik dan menjadi orang yang bahagia di dunia dan akhirat. Dan setiap orang yang mendidiknya, baik itu orang tua maupun para pendidiknya yang lain akan turut memperoleh pahala sebagaimana sang anak memperoleh pahala atas amalan kebaikan yang dilakukannya. Sebaliknya, jika dibiasakan dengan keburukan serta ditelantarkan seperti hewan ternak, niscaya dia akan menjadi orang yang celaka dan binasa serta dosa yang diperbuatnya turut ditanggung oleh orang-orang yang berkewajiban mendidiknya”

Dapat kita tarik kesimpulan bahwa akan menjadi seperti apa anak dimasa mendatang, apakah ia akan menjadi anak yang baik, anak yang jahat, anak yang tetap pada fitrahnya yaitu memegang agama yang lurus (islam), atau akan menjadi seorang yang meninggalkan fitrahnya, semua itu sangat bergantung pada bagaimana orang tuanya mendidik.

Dalam hal ini pepatah Arab mengatakan, “Bagaimana bisa bayangan itu lurus sementara bendanya bengkok?” dalam hal ini orang tua adalah bendanya sedangkan anak adalah bayangannya. Jika orang tua bengkok, maka anak pun akan bengkok dan rusak. Dan sebaliknya, jika orang tua lurus, maka insya Allah  anak akan lurus.

Jadi jika orang tua menginginkan anak-anaknya shalih maka orang tua harus shalih terlebih dahulu. Keshalihan orang tua akan memberikan manfaat positif bagi anak, keshalihan orang tua akan menjadi sumber yang baik dalam segala hal, baik itu dalam ibadah, bertutur kata, bersosialisasi dsb. Keshalihan orang tua juga akan melahirkan sikap sabar dalam mendidik anak, sehingga reaksi dan kata-kata negatif saat anak melakukan kesalahan atau kenakalan lebih bisa dihindari. Sikap tenang dan tutur kata yang lembut dari orang tua dalam menunjukkan kesalahan kepada anak, akan lebih bisa diterima dan dipahami.

Mulai dari sekarang mari kita jadikan diri kita sebagai pribadi yang baik, shalih, taat kepada Allah. Dengan harapan Allah akan menjadikan kita sebagai orang tua yang beruntung, yaitu memiliki anak-anak yang shalih, memiliki perangai yang baik dan selalu mendoakan orang tuanya. Anak yang shalih akan menjadi investasi pahala, sehingga orang tua akan mendapat aliran pahala dari anak shalih yang dimilikinya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Apabila seorang telah meninggal dunia, maka seluruh amalnya terputus kecuali tiga, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendo’akannya.” (HR. Muslim: 1631).