- Sebuah Refeleksi Kisah Nabi Ibrahim As
Idul Adha erat kaitannya dengan dua hal, yakni: ketaatan dan pengorbanan. Ketaatan dalam konteks senantiasa menanti semua perintah Allah SWT, meskipun untuk itu kita mesti mengorbankan sesuatu yang paling kita cintai. Dan juga tentang pengorbanan dalam artian sikap mengorbankan apa saja yang kita miliki dan cintai sebagai bukti ketaatan kita kepada Allah SWT.
Salah satu kisah paling menarik terkait ketaatan total dan pengorbanan sepenuhnya dalam melaksanakan perintah Allah SWT adalah kisah Nabi Ibarahim As dan Nabi Ismail As. Cerita tentang kepatuhan totalitas seorang hamba kepada Tuhannya. Pelaksaan qurban pada hakikatnya adalah demi menghidupkan sunnah nabi Ibrahim As yang taat, dan tegar melaksanakan qurban atas perintah Allah Ta’ala meskipun harus kehilangan putra satu-satunya yang di dambakan.
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ [٣٧:١٠٢] فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ [٣٧:١٠٣]وَنَادَيْنَاهُ أَن يَا إِبْرَاهِيمُ [٣٧:١٠٤] قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ [٣٧:١٠٥] إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ [٣٧:١٠٦] وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ [٣٧:١٠٧]
Artinya: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shaffat: 102-107).
Banyak pelajaran yang bisa di petik dari kisah perjalanan hidup keluarga Nabi Ibrahim As. Diantaranya, pertama: keteladanan Nabi Ibrahim sebagai suami dan ayah. Dalam keluarganya, nabi Ibrahim adalah kepada keluarga. Ia membina keluarganya sesuai dengan tuntutan Allah.
Sebagai suami, Ibrahim berlaku adil kepada istrinya. Kedua istrinya, Sarah dan Hajar, taat kepada Nabi Ibrahim. Ketaatan istri tersebut tentu tidak terlepas dari kemuliaan pribadi dan ketaatan Nabi Ibrahim As kepada Allah SWT.
Hal ini mengajarkan kepada kita bahwa jika ingin ditaati oleh istri, seorang suami harus mampu menampilkan dirinya sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab, berkepribadian luhur, cinta pada keluarga, dan berperilaku sesuai dengan tuntutan agama.
Kedua, profil Siti Hajar sebagai ibu yang mendidik. Siti Hajar memainkan perannya sebagai ibu yang bertanggung jawab dalam mendidik anaknya. Ia seorang ibu yang tangguh, pantang menyerah dan tak kenal putus asa.
Ketika bayinya meronta kehausan, Siti Hajar berlari-lari mencari air dari Shafa ke Marwa berulang-ulang untuk mencari air demi memenuhi kebutuhan jasmaniah anaknnya. Peristiwa itu kemudian diabadikan dalam ritual ibadah sa’i ketika Haji dan Umrah.
Siti Hajar juga menyerang iblis dengan lontaran batu ketika Iblis mencoba untuk merusak ruhaniyah anaknya agar menolak keputusan Ibrahim menyembelih Ismail atas perintah Allah. Lontaran batu itu juga menjadi ibadah melontar jumrah dalam ibadah haji.
Hal ini menunjukkan bahwa Siti Hajar melindungi fisik dan ruhaniyah anaknya. Siti Hajar menjadi pendidik pertama dan laksana sekolah bagi anaknya. Al-Ummu Madrasah, Ibu adalah Sekolah.
Siti Hajar juga menampakkan dirinya sebagai sosok istri yang patuh pada suami dan taat kepada Allah. Meskipun terasa berat menerima keputusan Ibrahim untuk taat kepada Allah agar menyembelih putra semata wayangnya, tetapi demi kepatuhannya kepada sang suami dan ketaatannya kepada Allah, Siti Hajar rela tanpa bantahan sekecil apapun.
Ketiga, profil Nabi Ismail sebagai anak shaleh. Nabi Ismail tidak membantah perintah ayahnya. Malah Ismail menguatkan hati ayahnya agar tabah menjalankan perintah tersebut. Ia berkata: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintah kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Kesalehan Ismail sejatinya menjadi inspirasi dan tauladan bagi generasi muda saat ini. Seorang pemuda harus siap berkorban apa saja untuk berbakti kepada orang tua. Waktu, pikiran, tenaga, bahkan jiwanya sekalipun ia korbankan demi baktinya pada orang tua sehingga mereka bangga memiliki anak seperti dia. Namun kepatuhan pada orang tua itu tidak boleh bertentangan dengan perintah Allah.
Seorang anak harus bangga melihat orang tuanya taat kepada Allah, meskipun harus mengorbankan hal-hal yang dicintainya di dunia ini. Karena itu, seorang anak perlu pula memberi dukungan dan semangat kepada orang tuanya agar tetap konsisten meneggakkan kebenaran.
Kepatuhan, ketaatan, pengorbanan, dan keteladanan merupakan kunci dari keberhasilan keluarga Nabi Ibrahim As.
Nabi Ibrahim telah berhasil menempatkan cintanya kepada Allah diatas cintanya kepada anaknya. Ismail telah berhasil menempatkan cintanya kepada Allah diatas cintanya kepada kehidupannya. Para sahabah (wanita-wanita zaman Rasul) telah berhasil menempatkan cintanya kepada Allah diatas cintanya kepada Pujian dan keindahan.
Lalu bagaimana tentang kondisi masyarakat saat ini? Semoga Allah SWT memberi kita kesabaran dan keikhlasan, dalam upaya kita untuk selalu taat dalam perintah-Nya.