By : Solikhin Abu Izzuddin
Inspirator Gaul anti Galau, Penulis Best Seller ZERO to HERO

4235186-wallpaper-nature

“Dan katakanlah, “Ya Rabbku! Masukkan aku dengan cara masuk yang benar dan keluarkanlah aku (pula) de-ngan cara keluar yang benar, dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong” (q.s. Al-Isra’: 80)

Saudaraku, ketika da’wah Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wassalam mengalami tekanan yang sangat berat di Makkah, beliau memerintahkan para sahabat untuk berhijrah, berpindah tempat. Ada yang ke Habasyah atau Ethiopia, hingga akhirnya beliau pun hijrah ke Madinah setelah mendapat perintah dari Allah. Menempuh perjalanan penuh kesulitan, menghadapi ancaman pembunuhan, mengorbankan harta kekayaan, siap menghadapi resiko kematian. Keimanan menghiasi perjalanan hijrah menjadi kelezatan yang membahagiaan sehingga Allah takdirkan kemenangan dan kemuliaan bagi Rasulullah dan orang-orang beriman. Allahu Akbar.

Secara bahasa, hijrah berarti berpindahnya seseorang dari suatu tempat ke tempat lain yang lebih baik. Secara syariat hijrah diperintahkan dari Makkah ke Madinah, sehingga setelah Fathu Makkah tidak ada lagi hijrah. Laa hijratan ba’dal fath. Kini, bukan sekadar fisik dan geografis, hijrahkan diri menjadi muslim yang sejati, muslim yang mukmin, mukmin yang muhsin, shalih yang muslih (menshalihkan).

Sahabatku, kita berhijrah untuk membuktikan syahadat cinta kita di hadapan Allah dan menerapkan makna Laa ilaaha illallah. Melakukan perubahan mendasar dan menyeluruh, sehingga semakin meningkat harkat dan martabat kemanusiaan kita, good, better, best. Spiritnya adalah selalu menjadi lebih baik, better forever. Menjadi orang penting itu baik, namun menjadi orang baik itu jauh lebih baik. Kebahagiaan kita hadir saat memberikan yang terbaik, give the best. Pada saatnya Allah akan memberikan balasan terbaik, get the best.

 

Hijrah dari syirik menuju tauhid

Syirik berarti mencampuradukan keyakinan sedangkan tauhid berarti mengesakan, hanya Allah sesembahan kita, qul huwallahu ahad Allahush shomad.

Kehidupan muslim adalah kehidupan perjuangan, menegakkan kalimat Allah agar yang tertinggi. Tiada ilah (sembahan) kecuali Allah, tiada yang paling dicintai kecuali Allah, tidak diikuti perintahnya kecuali Allah. Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iinu.

Komitmen pada “Laa ilaaha illallah” akan menumbuhkan keberanian, tiada takut masalah rezeki sehingga tidak berpikir apalagi bertindak korupsi dalam segala bentuknya. Tauhid membentuk sikap optimis menghadapi kehidupan dan bersikap tepat memandang realitas. Tiada gusar dan ragu untuk berkorban di jalan Allah, tiada bimbang untuk melangkah di atas rel kebenaran.

Muhammad bin Abdillah terlahir yatim dan usia enam tahun yatim piatu. Allah mendidik dengan berbagai peristiwa yang mematangkan kepribadian. Jauh dan bersih dari kemusyrikan dan penyembahan berhala yang lazim dilakukan masyarakat jahiliyah. Kini hijrahkan cintamu dengan melepaskan diri (bara’) dari segala sesembahan selain Allah, dari segala cinta yang tidak sesuai kehendak Allah, dari keburukan menjadi kebaikan, dari kedustaan menjadi kejujuran, dari keraguan menjadi keyakinan.

 

Hijrah dari kekafiran menjadi muslim sejati

Ketika masuk Islam, Umar bin Khaththab secara totalitas menghijrahkan diri menjadi muslim sejati sebelum berhijrah secara fisik dari Makkah ke Madinah. Keislaman Umar menjadi al-Faruq, pembeda antara kebenaran dan kebatilan. Dakwah Islam memiliki kemuliaan seperti doa Nabi, “Ya Allah muliakanlah Islam dengan masuk Islamnya salah seorang dari dua Umar (Umar bin Khathab atau Amr bin Hisyam Jahal).

Belajar dari Umar kita mendidik berjiwa besar dan tidak ingkar.  Berserah diri total kepada Allah Azza wa Jalla. Menjalani hidup sebagai sarana tarbiyah (pendidikan) dan perbaikan diri. Mengubah potensi menjadi prestasi. Shalih dengan amal shalih. Mushlih dengan keteladanan.   Memberikan yang terbaik untuk Islam. Memperbarui taubat setiap saat.  Mencelupkan warna kehidupan seperti Umar, “Aku akan mendatangi tempat-tempat yang dahulu aku duduki dalam kekafiran untuk aku duduki dengan keimanan.”

Menjadi muslim berarti menjadi juru dakwah, aktif menyebarkan dakwah dan rajin menebarkan rahmah, bersungguh-sungguh meraih berkah, agar bertambah kebaikan, meningkat ketaatan, memperluas kemanfaatan dan menyiapkan amal unggulan.

 

Hijrah dari nifaq menuju shidiq

Orang menderita karena hidup dalam topeng dan kepura-puraan. Gemerlap warna-warni atribut tak mampu menutup kegalauan hati, tak bisa mengusir kesedihan, tak bisa memoles kegelisahan. Mengapa? Jika kemunafikan telah mendominasi kehidupan.

Saudaraku, mari berhijrah. Jujur tanpa kedustaan. Yakin tanpa keraguan. Tenang tanpa kemaksiatan. Senang karena kebaikan. Mantap dalam bersikap. Optimis dalam berkarya manis. Fokus sampai lulus. Semangat sampai tamat. Tak kenal menyerah sebelum mencetak sejarah, dengan amal jariyah yang full barokah.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian dia tidak ragu dan berjihad dengan hartanya dan jiwa-nya di jalan Allah. Merekalah orang-orang yang shiddiq (benar-benar imannya)” (q.s. Al-Hujurat:15).

Kejujuran menjadikan masalah sebagai masa lalu, kedustaan menjadikan masalah sebagai masa depan. Jangan sampai masalah demi masalah terus menimpa negeri kita tercinta akibat minimnya kejujuran dan mewabahnya kebohongan. Salah satu slogan sesat Nazi adalah “Berbohonglah kalian, dan terus meneruslah berbohong sehingga ketika kalian berbohong, kalian tidak lagi melihatnya sebagai sebuah kebohongan.” Makjleb, barangkali itu yang kini terjadi. Keburukan dianggap biasa karena dibiasakan terus-menerus. Astaghfirullah.

Saudaraku, mari hijrah diri, tinggalkan keburukan, bismillahi tawakkaltu ‘alallahi. Siapa yang meninggalkan sesuatu dalam keadaan haramnya maka Allah akan menggantinya dalam keadaan halal. Seperti perampok yang tergoda untuk merampok, berzina, namun mengurungkan niat buruknya karena ingin mendapatkan sesuatu dalam keadaan halalnya. Allah antarkan takdirnya. Perampok tersebut menikah dengan orang yang hampir dirampoknya dan dizinainya. Setelah menikah dia halal menikmati sesuatu yang dulu haram baginya. Masya Allah.

Kejujuran itu menenteramkankan, ash-shidqu tuma’ninah. Kejujuran sejati kata Abdul Qodir Jaelani adalah ketika kita bisa tetap jujur di saat kita tidak bisa selamat dari manusia kecuali dengan kebohongan. Itu dimulai dengan niat ikhlas karena Allah selaras lahir dan bathin. Berani  mengatakan perkataan yang benar terhadap orang yang ditakuti maupun yang diharapkan. Jujur itu praktis bukan sekadar teoritis, membersihkan dari kekotoran mengisi dengan kemuliaan. “Ciri-ciri orang munafiq ada tiga: jika berkata dia bohong (dusta), jika berjanji dia ingkar, dan jika dipercaya dia berkhianat.”

Jujur itu sederhana dan membuat bahagia karena selaras antara hati, lisan dan perbuatan dalam kesamaan persepsi, niat, ucapan dan gerak. Tidak merasa takut dan gelisah. Tidak sedih dan merana. Tidak galau dan kecewa. Karena kita sudah meniatkan untuk bahagia, iya kan? Kejujuran adalah mata uang universal yang berlaku internasional di seluruh dunia.

 

Hijrah dari sikap pengecut menjadi pemberani

Saudaraku, keyakinan terhadap balasan dan janji Allah memantik keberanian menghadapi tantangan, menghalau rintangan, mengubah hambatan yang menyulitkan menjadi jembatan yang melejitkan. Keberanian ini dibangun dari iman yang lurus, ibadah yang tulus, dan akhlak yang bagus. Terarah dalam melangkah. Jelas dalam integritas. Terukur dan tidak ngawur.

Keyatiman Muhammad di waktu kecil menjadi pendidikan tingkat tinggi menjadi pribadi yang kokoh dan mandiri, berani menghadapi berbagai situasi dan tidak cengeng mengeluh sana-sini. Saat bersama Abu Thalib yang miskin dan beranak banyak, beliau menjadi penggembala kambing penduduk Makkah dengan upah beberapa qirath (mata uang saat itu). Muhammad muda berkontribusi nyata, berdikari bukan jadi benalu.

Hijrah bukanlah lari dari masalah namun mengubah masalah menjadi jalan sejarah. Ngalah (untuk meraih yang lebih besar dari sisi Allah), ngalih (berpindah dari keburukan kepada kebaikan) dan ngamuk (melawan keadaan dengan tindakan bijak). Iman dibangun di Mekkah 13 tahun, beliau ngalah namun terus mengokohkan keyakinan. Hijrah tahun ke-13 kenabian beliau ngalih dari Makkah ke Yatsrib (Madinah). Jihad untuk mempertahankan iman tahun 2 H melalui perang Badar Kubro. Jihad itu menjaga iman bukan menebar kerusakan. Dengan jihad yang benar inilah tercapai kesejahteraan, baldatun thayyibatun warabbun ghafur. Seperti jihadnya pahlawan merebut kemerdekaan dan jihadnya TNI dalam mempertahankan NKRI dari ancaman disintegrasi dan penjajahan asing.

Hijrah bukan lari dari masalah namun menghadapi dan menyelesaikan masalah dengan jiwa yang gagah. Tidak berputus asa menghadapi cobaan hidup namun berusaha bahwa selalu ada jalan dan pintu rezeki selagi kita masih hidup. Sikap pemberani sesungguhnya tidak akan mempercepat ajal seseorang karena ajal kematian itu sudah ditetapkan. Demikian pula sikap pengecut juga tidak akan memperlambat ajal karena ajal sudah ditentukan oleh Allah.

Imam Syafi’i rahimahullah,

Jika aku hidup, aku tidak takut kehilangan makanan

Jika aku mati, aku tidak takut kehilangan kuburan

Sesungguhnya jiwaku adalah jiwa seorang pemimpin

Pikiranku adalah pikiran orang yang merdeka

yang memandang kelemahan sebagai kekufuran.

Selamat berhijrah. Selamat meraih berkah. Selamat berjalan untuk meraih jannah, insya Allah. Semoga Allah mengumpulkan kita dalam cinta-Nya dan di jannah-Nya. Aamiin.

Allahu a’lam bish shawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *